Jumat, 08 Januari 2016

Memandang Kartini dan Timor Leste (Kajian Feminism)



“ Berlalulah sudah! Masa mudanya yang indah sudah belalu! Berlalu sudah semua yang merupakan kegembiraan dalam hidup kanak-kanaknya yang muda. Ia merasa masih kanak-kanak sekali dan ia memang masih anak juga, tetapi adat menggolongkannya tanpa ampun sebagai orang dewasa. Baginya tidak ada parit yang telalu lebar untuk dilompati; tak ada pohon yang terlalu tinggi untuk dipanjat. Dia yang tidak pernah berjalan, tetapi selalu melonjak-lonjak seperti anak kuda lincah di padang rumput; sekarang harus tenang, perlahan-lahan, megah, seperti layaknya wanita bumiputra dari keluarga bangsawan tinggi. Permata bagi gadis jawa ialah diam, tidak bergerak, seperti boneka kayu. Berbicara kalau perlu sekali saja dengan suara berbisik lembut, hingga semut pun tak dapat mendengarnya. Berjalan harus setapak demi setapak seperti siput. Tertawa tak boleh bersuara, tanpa membuka bibir. Jelek sekali jika giginya terlihat, seperti luwak saja tampaknya”

Begitulah ungkapan Kartini seperti yang dikutip dalam surat kartini kepada Nyonya Abenandon, di Jepara.  Seperti yang kita lihat bahwa romantisme kartini sebagai pejuang kaum wanita berkurang dalam kacamata rakyat Indonesia pada era reformasi ini. Banyak yang menganggap bahwa Kartini adalah antek penjajah Belanda dikarenakan kedekatannya kepada para penjajah. Sampai pada sistem pembelajaran pada era orde baru yang seolah-olah kita “dicekok I” atau dipaksakan agar mau tidak mau kita mengkonsumsi bahan ajar yang telah disediakan oleh pemerintah pada masa itu. Akan tetapi akankah kita akan terus terlarut dalam keadaan perdebatan itu. Mungkin melalui catatan kecil saya akan mencoba mengambil benang merah, bahwa bagaimanapun Kartini adalah salah satu Feminis yang dimiliki oleh Indonesia. Tapi tunggu dulu, bukan berarti saya mengambil pernyataan seperti itu, dan bisa disimpulkan saya adalah antek orde baru, tentu bukan! Saya disini mencoba mengkaji dari sudut pandang kaum akademis dan mengambil sisi dedikasinya.

Melalui catatan kecil saya ini, saya mencoba mengambil kasus Perjuangan Bertahan Hidup bagi kaum wanita yang diambil dari tanah Timor Leste sebagai bentuk review suatu kasus. Mari kita kembali sejenak pada tahun 1990, tahun dimana Indonesia melakukan segala bentuk dominasinya terhadap Timor Timur agar kawasan Timor selalu “tunduk” dalam wilayah teritori Negara Indonesia. Semua warga Timor Timur dipaksa mengikuti keinginan militer Indonesia. Ada sebuah Tesis dari Warga Negara Australia yang berani mengungkap, bahwa ada bentuk pelanggaran HAM dalam proses militer di Timor Timur. Pihak Militer Indonesia mengambil tata kelola dan pembangunan di Timor Timur dengan tangan besi mereka, tidak sedikit korban yang menjadi konsekwensi dari tindakan tangan besi yang dilakukan Militer Indonesia tersebut. Puncaknya adalah ketika anak-anak kecil di timor timur yang dipaksa oleh militer Indonesia untuk ikut mereka untuk menjadi anak adopsi bagi keluarga militer Indonesia dan diberikan cuci otak secara paksa bahwa mereka harus melupakan daerah mereka di Timor Timur dan mereka harus menganggap bahwa tanah air dan asal mereka adalah Indonesia bukan Timor Timur. Sedangkan kaum wanita seolah dipaksa menjadi budak seks, dan pelayan bagi Militer Indonesia pada saat itu. Apakah sudah bisa membayangkan bagaimana rasanya ketika kita menjadi sosok kaum wanita pada saat itu di Timor Timur

Timbul pertanyaan “apakah Timor Timur yang melepaskan diri dari Indonesia ataukah kita yang menjajah Timor Timur?”. Sampai pada akhirnya ketika presiden BJ. Habibie yang dihadapkan pada situasi sulit pada masa itu ketika ia dituntut harus mengakhiri segala bentuk rezim orde baru, sehingga ia memilih kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur sampai pada akhirnya Timor Timur lepas dari teritori wilayah kesatuan Republik Indonesia untuk menjadi negara baru Timor Leste. Masih ingat dengan Anak-anak keturunan timor leste yang dibawa oleh militer Indonesia?  Ketika mereka kembali ke negara mereka Timor Leste untuk mencari keluarganya, mereka seolah-olah tidak menemukan keluarga mereka tanpa jejak sedikitpun.

“Kembali ke tanah kelahiran, seolah merasa terasing apakah aku adalah kelahiran tanah ini, ataukah aku adalah iblis bagi tanah ini, kemana mereka? Bagai kapas ditiup angin, terbang entah menjauh. Apakah mereka dibunuh dan dihilangkan? Oleh mereka yang berkuasa di tanah ini pada dahulu kala? Tuhan, jika kau ingin menunjukkan belas kasih Mu, cukup pertemukan kita di Tanah Ini, tanah yang dulunya selalu hidup damai walau ditangan penjajah”

Begitu adalah kutipan tulisan warga Timor Leste. Sampai pada saat ini, masalah itu tidak selasai sampai disini, mereka juga masih harus berjuang melawan perang saudara di tanah timor leste antara kaum muda yang duduk di Pemerintahan Negara Timor Leste dengan kaum tua yang telah berjasa dalam kemerdekaan negara Timor Leste yang tidak mendapatkan posisi dalam kepegawaian pemerintah di tanah Timor Leste. Seolah-olah mereka mempertanyakan apakah jasa-jasa kami sebagai pejuang dan keluarga pejuang kemerdekaan timor leste tidak dihargai oleh pemerintah setempat dengan memilih kaum pemuda yang baru sebagai sosok individu yang lebih produktif

Kembali pada konteks Kartini itu sendiri, apa tidak lebih baiknya kita mengambil sisi dedukasinya daripada perdebatan-perdebatan yang muncul pada era kebebasan berpendapat ini. Setidaknya, bahwa kasus Perempuan Timor Leste dihadapkan pada kasus yang sama dengan era Kartini pada saat itu, bahwa sebagai kaum wanita dia seolah dipaksa mengikuti adat dan ketentuan yang lebih patriarki, sedangkan kaum wanita Timor Leste dihadapkan pada kenyataan harus mematuhi segala bentuk kewenangan yang diterapkan oleh Militer pada waktu pra jajak pendapat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar