“ Berlalulah
sudah! Masa mudanya yang indah sudah belalu! Berlalu sudah semua yang merupakan
kegembiraan dalam hidup kanak-kanaknya yang muda. Ia merasa masih kanak-kanak
sekali dan ia memang masih anak juga, tetapi adat menggolongkannya tanpa ampun sebagai
orang dewasa. Baginya tidak ada parit yang telalu lebar untuk dilompati; tak
ada pohon yang terlalu tinggi untuk dipanjat. Dia yang tidak pernah berjalan,
tetapi selalu melonjak-lonjak seperti anak kuda lincah di padang rumput;
sekarang harus tenang, perlahan-lahan, megah, seperti layaknya wanita bumiputra
dari keluarga bangsawan tinggi. Permata bagi gadis jawa ialah diam, tidak
bergerak, seperti boneka kayu. Berbicara kalau perlu sekali saja dengan suara
berbisik lembut, hingga semut pun tak dapat mendengarnya. Berjalan harus
setapak demi setapak seperti siput. Tertawa tak boleh bersuara, tanpa membuka
bibir. Jelek sekali jika giginya terlihat, seperti luwak saja tampaknya”
Begitulah
ungkapan Kartini seperti yang dikutip dalam surat kartini kepada Nyonya
Abenandon, di Jepara. Seperti yang kita
lihat bahwa romantisme kartini sebagai pejuang kaum wanita berkurang dalam
kacamata rakyat Indonesia pada era reformasi ini. Banyak yang menganggap bahwa
Kartini adalah antek penjajah Belanda dikarenakan kedekatannya kepada para
penjajah. Sampai pada sistem pembelajaran pada era orde baru yang seolah-olah
kita “dicekok I” atau dipaksakan agar
mau tidak mau kita mengkonsumsi bahan ajar yang telah disediakan oleh
pemerintah pada masa itu. Akan tetapi akankah kita akan terus terlarut dalam
keadaan perdebatan itu. Mungkin melalui catatan kecil saya akan mencoba
mengambil benang merah, bahwa bagaimanapun Kartini adalah salah satu Feminis
yang dimiliki oleh Indonesia. Tapi tunggu dulu, bukan berarti saya mengambil pernyataan
seperti itu, dan bisa disimpulkan saya adalah antek orde baru, tentu bukan!
Saya disini mencoba mengkaji dari sudut pandang kaum akademis dan mengambil
sisi dedikasinya.
Melalui
catatan kecil saya ini, saya mencoba mengambil kasus Perjuangan Bertahan Hidup
bagi kaum wanita yang diambil dari tanah Timor Leste sebagai bentuk review
suatu kasus. Mari kita kembali sejenak pada tahun 1990, tahun dimana Indonesia
melakukan segala bentuk dominasinya terhadap Timor Timur agar kawasan Timor
selalu “tunduk” dalam wilayah
teritori Negara Indonesia. Semua warga Timor Timur dipaksa mengikuti keinginan
militer Indonesia. Ada sebuah Tesis dari Warga Negara Australia yang berani
mengungkap, bahwa ada bentuk pelanggaran HAM dalam proses militer di Timor
Timur. Pihak Militer Indonesia mengambil tata kelola dan pembangunan di Timor
Timur dengan tangan besi mereka, tidak sedikit korban yang menjadi konsekwensi
dari tindakan tangan besi yang dilakukan Militer Indonesia tersebut. Puncaknya
adalah ketika anak-anak kecil di timor timur yang dipaksa oleh militer
Indonesia untuk ikut mereka untuk menjadi anak adopsi bagi keluarga militer
Indonesia dan diberikan cuci otak secara paksa bahwa mereka harus melupakan
daerah mereka di Timor Timur dan mereka harus menganggap bahwa tanah air dan
asal mereka adalah Indonesia bukan Timor Timur. Sedangkan kaum wanita seolah
dipaksa menjadi budak seks, dan pelayan bagi Militer Indonesia pada saat itu.
Apakah sudah bisa membayangkan bagaimana rasanya ketika kita menjadi sosok kaum
wanita pada saat itu di Timor Timur
Timbul
pertanyaan “apakah Timor Timur yang melepaskan diri dari Indonesia ataukah kita
yang menjajah Timor Timur?”. Sampai pada akhirnya ketika presiden BJ. Habibie
yang dihadapkan pada situasi sulit pada masa itu ketika ia dituntut harus
mengakhiri segala bentuk rezim orde baru, sehingga ia memilih kebijakan untuk
melakukan jajak pendapat di Timor Timur sampai pada akhirnya Timor Timur lepas
dari teritori wilayah kesatuan Republik Indonesia untuk menjadi negara baru
Timor Leste. Masih ingat dengan Anak-anak keturunan timor leste yang dibawa
oleh militer Indonesia? Ketika mereka
kembali ke negara mereka Timor Leste untuk mencari keluarganya, mereka
seolah-olah tidak menemukan keluarga mereka tanpa jejak sedikitpun.
“Kembali ke
tanah kelahiran, seolah merasa terasing apakah aku adalah kelahiran tanah ini,
ataukah aku adalah iblis bagi tanah ini, kemana mereka? Bagai kapas ditiup
angin, terbang entah menjauh. Apakah mereka dibunuh dan dihilangkan? Oleh
mereka yang berkuasa di tanah ini pada dahulu kala? Tuhan, jika kau ingin
menunjukkan belas kasih Mu, cukup pertemukan kita di Tanah Ini, tanah yang
dulunya selalu hidup damai walau ditangan penjajah”
Begitu adalah
kutipan tulisan warga Timor Leste. Sampai pada saat ini, masalah itu tidak
selasai sampai disini, mereka juga masih harus berjuang melawan perang saudara
di tanah timor leste antara kaum muda yang duduk di Pemerintahan Negara Timor
Leste dengan kaum tua yang telah berjasa dalam kemerdekaan negara Timor Leste
yang tidak mendapatkan posisi dalam kepegawaian pemerintah di tanah Timor
Leste. Seolah-olah mereka mempertanyakan apakah jasa-jasa kami sebagai pejuang
dan keluarga pejuang kemerdekaan timor leste tidak dihargai oleh pemerintah
setempat dengan memilih kaum pemuda yang baru sebagai sosok individu yang lebih
produktif
Kembali pada
konteks Kartini itu sendiri, apa tidak lebih baiknya kita mengambil sisi
dedukasinya daripada perdebatan-perdebatan yang muncul pada era kebebasan
berpendapat ini. Setidaknya, bahwa kasus Perempuan Timor Leste dihadapkan pada
kasus yang sama dengan era Kartini pada saat itu, bahwa sebagai kaum wanita dia
seolah dipaksa mengikuti adat dan ketentuan yang lebih patriarki, sedangkan
kaum wanita Timor Leste dihadapkan pada kenyataan harus mematuhi segala bentuk
kewenangan yang diterapkan oleh Militer pada waktu pra jajak pendapat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar