Jawa Pos
Selasa 21 Mei 2013 pada halaman 16 memuat berita tentang rencana biaya alokasi
kurikulum baru berjumlah 829 Miliar. Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan,
anggaran akhir yang disusun berdasarkan BPKP berjumlah Rp. 829, 4 miliar karena
sebelumnya berubah sebanyak tiga kali yakni pada 21 Desember 2012 anggaran
untuk kurikulum berjumlah Rp. 631,9 miliar lebih sedikit dari jumlah yang akan
disepakati sekarang. Kemudian koreksi kedua pada 9 April 2013 sejumlah Rp.
2,491 triliun jauh lebih tinggi dari jumlah yang akan disepakati.
Namun ada yang menarik dari kutipan
pernyataan yang dilansir oleh Jawapos Selasa, 21 Mei 2013 bahwa Mentri
Pendidikan akan memprioritaskan bekas RSBI dan yang Akreditasi A. Sedangkan
ciri keberhasilan pendidikan adalah
adanya pemerataan baik itu dari Infrastruktur, tenaga pendidik, dan komponen
pembelajaran yang dimana salah satunya adalah kurikulum sebagai dasar dari
kegiatan belajar mengajar. Ditinjau dari kajian sosiologis, bahwa pemerataan
segala aspek dalam kesatuan komponen pendidikan itu adalah sebuah keharusan yang harus dijalankan
oleh pelaksana pendidikan di Indonesia. Tidak hanya yang bertaraf internasional
atau RSBI dan yang terakreditasi A saja, akan tetapi mulai dari sekolah baru
berdiri, sampai sekolah yang bertaraf internasional, dari sekolah Formal,
Informa, dan Nonformal. Selain itu juga untuk keselarasan dalam pelaksanaan
pendidikan hendaknya kementrian pendidikan itu juga memperhatikan model
kurikulum apa yang cocok diterapkan dalam sekolah.
Sebenarnya, tidak ada permasalahan
apakah anggaran untuk kurikulum akan dinaikkan ataukah diturunkan asalkan biaya
tersebut benar-benar mencakup keseluruhan kebutuhan dari pelaksanaan kurikulum.
Mencakup keseluruhan itu juga dalam hal kesejahteraan guru dan ketersediaan
sarana prasarana pendidikan. Biaya boleh tinggi, namun fasilitas pendidikan itu
semakin cukup dan tidak ada lagi keluh kesah bagi tenaga pendidik tentang
kesejahteraan mereka.
Kurikulum bukan sarana untuk ajang
eksperimen atau percobaan, dapat kita lihat perkembangan dari perjalanan
kurikulum di Indonesia yang pada tahun 1994, dimana kurikulum 1994 menginginkan
adanya kolaborasi antara model kurikulum tahun 1975 dan 1984 yang mengutamakan
pendekatan proses dalam pembelajaran pada kurikulum 1994 ini menggunakan sistim
empat bulan atau catur wulan sebagai waktu pelaksanaan kegiatan pembelajaran
dalam setiap tahunnya dan kurikulum ini mengedepankan metode ceramah searah
dari seorang guru sebagai model pembelajarannya. Kemudian pada tahun 2002-2004
kurikulum berganti lagi menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pada kurikulum
ini sudah mulai menggunakan sistem semester dalam sistem pembelajaran dalam
waktu setahun dan Kurikulum ini mengedepankan konsep keaktifan peserta didik
dalam mengggali keilmuan. Akan tetapi tidak sampai lama ujucoba kurikulum ini
dihentikan dan pada tahun 2006 berganti lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan astau KTSP. Kurikulum ini memberikan kewenangan kepada tiap-tiap
sekolah untuk menentukan dan memberikan kebijakan.
Proses sering bergantinya kurikulum
ini berdampak meningkatnya proses pembiayaan untuk penentuan kebijakan pembuatan
kurikulum baru, selain itu berdampak pada penyesuaian bagi para peserta didik
yang selama ini peserta didik itu cenderung lambat dalam beradaptasi dalam
proses perubahan kurikulum. Dalam proses Ujian Nasional Kemarin, ada beberapa
guru yang menyebutkan salah satu kegagalan adalah karena sering
berganti-gantinya kurikulum dalam proses pembelajaran. “Ya soalnya kurikulum
sering berganti mas, mangkanya murid-murid cenderung bingung untuk
menyesuaikan” ujar salah satu guru. Untuk mengantisipasi proses penyesuaian
yang lambat dari adaptasi dari proses perubahan kurikulum itu hendaknya
pemerintah memberikan kebijakan untuk memberikan kebebasan atau
ketidak-terikatan terhadap suatu kurikulum kepada masing-masing sekolah tanpa
memandang status akreditasi atau taraf dari sekolah tersebut. Karena setiap
sekolah mempunyai proses pembelajaran yang berbeda entah itu negeri maupun
swasta. Disesuaikan dari kebutuhan dimana letak sekolah itu berada, karena
tidak mungkin sekolah yang berada di pedesaan tertinggal menggunakan sistem
pembelajaran dengan menggunakan media yang sangat lengkap. Selain itu juga
penetapan kurikulum yang sesuai dengan tepat sasaran kepada masing-masing
sekolah, pergantian kurikulum juga menimbulkan kenaikan kebutuhan biaya untuk
pengadaaan kurikulum baru.
Jika ditinjau dari teori sosiologi, berbagai komponen
dalam pendidikan dimana keseluruhan komponen tersebut agar dapat berjalan
dengan baik dan semua berjalan dengan bagaimana seharusnya, maka perlu
memperhatikan skema dari Talcott Parsons yaitu konsep AGIL (Adaptation, Goal
Attaintment, Integration, Latency). Adaptation atau penyesuaian diri, disini
kurikulum hendaknya menyesuaikan diri dengan kebutuhan lingkungannya[1]
agar tepat guna dalam penyesuaian penggunaan kurikulum dalam proses
pembelajaran. Kemudian Goal Attainment yaitu bagaimana komponen tersebut
mencapai tujuannya, adapun dari sudut pandang ini, tujuan dari pelaksanaan
kurikulum adalah terlaksananya proses kegiatan belajar mengajar yang efektif,
kemudian memberikan hasil yang positif bagi sekolah dan dirinya sendiri.
Integration atau saling ada integritas, artinya setiap komponen dalam
pendidikan harus saling memberikan dukungan positif agar proses pendidikan
berlangsung dengan baik artinya jika ada keberhasilan dalam suatu pelaksanaan
proses pendidikan maka setiap komponen dalam pendidikan tersebut berjalan
dengan baik. Kemudian Latency atau kultural, setiap individu mempunyai kultural
yang berbeda-beda setiap komponen dalam pendidikan hendaknya memelihara setiap
kultur kerja yang baik sehingga proses pendidikan dapat berjalan dengan baik.