Faizal
Kurniawan, S.Pd, M.Si
Berkaca pada kenyataan yang sedang tren saat ini, bahwa
seorang yang terkesan benar-benar taat
dan patuh terhadap aturan agama atau sekedar ingin terlihat “religious” di media
sosial kita dan menjadi “figur tauladan” versi dirinya sendiri, selalu saja hal
tersebut menjadi perdebatan bagi kalangan orang-orang. Munculnya statement
“Hanya ingin dikenal sebagai orang yang beriman” ketika menemukan seorang yang
“tidak sesuai” apa yang dimaksudkan oleh tuntunan agama dengan status
pribadinya di media sosial. Kita seolah-olah dipaksa mengkonsumsi aturan-aturan
yang sebenarnya itu adalah bentuk fleksibilitas dari perkembangan penafsiran
dari konteks agama itu sendiri.
Baiklah kita mulai dari menasbihkan bahwa “selfie” itu haram
(menurut Felix Siaw). statement yang selalu memacu adrenalin saya untuk
berkomentar. Sebenarnya apakah kita
dihadapkan pada situasi yang dimana selfi itu adalah bentuk identitias
diri kita sendiri. Saya sendiri yakin, bahwa agama kita tentunya dapat
“mengecualikan” hal tersebut sebagai bentuk duniawi umat manusia dan bukan
urusan pribadi dengan tuhannya. Lalu, fans berat Felix Siaw tentunya terkesan
latah dan langsung meng-iya-kan bahwa Felix adalah pemuka agama yang sangat
memperhatikan umatnya. Oke, hal ini termasuk hal sepele, akan tetapi jika hal
ini dikaji dan dikonsumsinya dalam dunia media sosial yang dimana selfi adalah
topic utama, tentunya menjadi perdebatan yang tentunya tidak akan menemukan
titik temu. Setiap fans berat Felix selalu setuju tanpa berfikir kritis dikarenakan
apa yang dikatakannya adalah bentuk wahyu ilahi, para OGS atau orang gila selfi
tentunya melakukan pembelaan terhadap apa yang telah dilakukannya. Kenapa Felix
begitu mempermasalahkannya sebagai suatu bentuk pelanggaran dan termasuk hal
yang sia-sia? Kalau dilihat, memang dengan fasilitas resolusi gambar yang
dimiliki oleh smartphone saat ini sangat memungkinkan bagi setiap orang untuk
memotret dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Terlebih lagi bahwa fasilitas yang membagikan hasil jepretan kita
tersebut ke dalam media sosial juga dengan sekali tombol share. Tentu mendorong
setiap individu untuk sekedar berbagi dengan rekan rekan di dunia maya.
Mungkin apa yang dikaji tersebut saya dapat menyimpulkan
bahwa konteks agama itu sendiri terbagai menjadi dua. Pertama adalah orang yang
menyimpulkan agama tersebut sebagai misionaris, yaitu mempunyai tujuan yang
radikal, dan kaku. Semua yang tidak ada dalam
tuntunan kontekstual kitab suci dianggap tidak sesuai dan membahayakan
bagi kehidupan beragama, pada umumnya misionaris ini menganggap perbedaan
tersebut sebagai pengkultusan perlawanan. Sedikit idealis memang, dan arahannya
langsung copy paste tanpa menyesuaikan. Mungkin Felix termasuk misionaris dengan
menganggap semua yang tidak setuju dengannya sebagai bentuk oposisi, sehingga
labeling “perbuatan yang sia-sia” selalu melekat pada individu yang
kebarat-baratan (itu menurut felix). Hal yang serupa dilakukan ketika Raden
Patah ingin membentuk negara khilafah yang keluar dari konteks keberagaman
dalam beragama. Begitulah konteks hegemoni dalam beragama yang begitu
dikultuskan oleh Felix Siaw
Paham kedua adalah ketika kita membawa agama dari konteks
moderat yakni sebagai penyelaras dan penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat.
Mengedepankan kenyamanan dalam hidup dengan lain keyakinan. Mengedepankan
toleransi, dan tentunya mengedepankan paradigma berfikir kritis terhadap
fleksibilatas konteks agama sendiri. Dalam Islam, hal ini sering dikaitkan
dengan paham liberal dan abangan atau pencampuran dengan unsur kebudayaan.
Minoritas akan sangat merangkul paham moderat ini, dan tentunya tidak
menjadikan agama tersebut seperti sate kambing (kata teman saya) yang bisa
membuat darah tinggi dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Easy going
guys termasuk kedalam golongan manakah kalian? Itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar