Jumat, 08 Januari 2016

Maaf Saya Selfi, Felix Siau



Faizal Kurniawan, S.Pd, M.Si
Berkaca pada kenyataan yang sedang tren saat ini, bahwa seorang yang terkesan benar-benar  taat dan patuh terhadap aturan agama atau sekedar ingin terlihat “religious” di media sosial kita dan menjadi “figur tauladan” versi dirinya sendiri, selalu saja hal tersebut menjadi perdebatan bagi kalangan orang-orang. Munculnya statement “Hanya ingin dikenal sebagai orang yang beriman” ketika menemukan seorang yang “tidak sesuai” apa yang dimaksudkan oleh tuntunan agama dengan status pribadinya di media sosial. Kita seolah-olah dipaksa mengkonsumsi aturan-aturan yang sebenarnya itu adalah bentuk fleksibilitas dari perkembangan penafsiran dari konteks agama itu sendiri.
Baiklah kita mulai dari menasbihkan bahwa “selfie” itu haram (menurut Felix Siaw). statement yang selalu memacu adrenalin saya untuk berkomentar. Sebenarnya apakah kita  dihadapkan pada situasi yang dimana selfi itu adalah bentuk identitias diri kita sendiri. Saya sendiri yakin, bahwa agama kita tentunya dapat “mengecualikan” hal tersebut sebagai bentuk duniawi umat manusia dan bukan urusan pribadi dengan tuhannya. Lalu, fans berat Felix Siaw tentunya terkesan latah dan langsung meng-iya-kan bahwa Felix adalah pemuka agama yang sangat memperhatikan umatnya. Oke, hal ini termasuk hal sepele, akan tetapi jika hal ini dikaji dan dikonsumsinya dalam dunia media sosial yang dimana selfi adalah topic utama, tentunya menjadi perdebatan yang tentunya tidak akan menemukan titik temu. Setiap fans berat Felix selalu setuju tanpa berfikir kritis dikarenakan apa yang dikatakannya adalah bentuk wahyu ilahi, para OGS atau orang gila selfi tentunya melakukan pembelaan terhadap apa yang telah dilakukannya. Kenapa Felix begitu mempermasalahkannya sebagai suatu bentuk pelanggaran dan termasuk hal yang sia-sia? Kalau dilihat, memang dengan fasilitas resolusi gambar yang dimiliki oleh smartphone saat ini sangat memungkinkan bagi setiap orang untuk memotret dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Terlebih lagi bahwa  fasilitas yang membagikan hasil jepretan kita tersebut ke dalam media sosial juga dengan sekali tombol share. Tentu mendorong setiap individu untuk sekedar berbagi dengan rekan rekan di dunia maya.
Mungkin apa yang dikaji tersebut saya dapat menyimpulkan bahwa konteks agama itu sendiri terbagai menjadi dua. Pertama adalah orang yang menyimpulkan agama tersebut sebagai misionaris, yaitu mempunyai tujuan yang radikal, dan kaku. Semua yang tidak ada dalam  tuntunan kontekstual kitab suci dianggap tidak sesuai dan membahayakan bagi kehidupan beragama, pada umumnya misionaris ini menganggap perbedaan tersebut sebagai pengkultusan perlawanan. Sedikit idealis memang, dan arahannya langsung copy paste tanpa menyesuaikan. Mungkin Felix termasuk misionaris dengan menganggap semua yang tidak setuju dengannya sebagai bentuk oposisi, sehingga labeling “perbuatan yang sia-sia” selalu melekat pada individu yang kebarat-baratan (itu menurut felix). Hal yang serupa dilakukan ketika Raden Patah ingin membentuk negara khilafah yang keluar dari konteks keberagaman dalam beragama. Begitulah konteks hegemoni dalam beragama yang begitu dikultuskan oleh Felix Siaw
Paham kedua adalah ketika kita membawa agama dari konteks moderat yakni sebagai penyelaras dan penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat. Mengedepankan kenyamanan dalam hidup dengan lain keyakinan. Mengedepankan toleransi, dan tentunya mengedepankan paradigma berfikir kritis terhadap fleksibilatas konteks agama sendiri. Dalam Islam, hal ini sering dikaitkan dengan paham liberal dan abangan atau pencampuran dengan unsur kebudayaan. Minoritas akan sangat merangkul paham moderat ini, dan tentunya tidak menjadikan agama tersebut seperti sate kambing (kata teman saya) yang bisa membuat darah tinggi dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Easy going guys termasuk kedalam golongan manakah kalian? Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar