Jumat, 08 Januari 2016

Maaf Saya Selfi, Felix Siau



Faizal Kurniawan, S.Pd, M.Si
Berkaca pada kenyataan yang sedang tren saat ini, bahwa seorang yang terkesan benar-benar  taat dan patuh terhadap aturan agama atau sekedar ingin terlihat “religious” di media sosial kita dan menjadi “figur tauladan” versi dirinya sendiri, selalu saja hal tersebut menjadi perdebatan bagi kalangan orang-orang. Munculnya statement “Hanya ingin dikenal sebagai orang yang beriman” ketika menemukan seorang yang “tidak sesuai” apa yang dimaksudkan oleh tuntunan agama dengan status pribadinya di media sosial. Kita seolah-olah dipaksa mengkonsumsi aturan-aturan yang sebenarnya itu adalah bentuk fleksibilitas dari perkembangan penafsiran dari konteks agama itu sendiri.
Baiklah kita mulai dari menasbihkan bahwa “selfie” itu haram (menurut Felix Siaw). statement yang selalu memacu adrenalin saya untuk berkomentar. Sebenarnya apakah kita  dihadapkan pada situasi yang dimana selfi itu adalah bentuk identitias diri kita sendiri. Saya sendiri yakin, bahwa agama kita tentunya dapat “mengecualikan” hal tersebut sebagai bentuk duniawi umat manusia dan bukan urusan pribadi dengan tuhannya. Lalu, fans berat Felix Siaw tentunya terkesan latah dan langsung meng-iya-kan bahwa Felix adalah pemuka agama yang sangat memperhatikan umatnya. Oke, hal ini termasuk hal sepele, akan tetapi jika hal ini dikaji dan dikonsumsinya dalam dunia media sosial yang dimana selfi adalah topic utama, tentunya menjadi perdebatan yang tentunya tidak akan menemukan titik temu. Setiap fans berat Felix selalu setuju tanpa berfikir kritis dikarenakan apa yang dikatakannya adalah bentuk wahyu ilahi, para OGS atau orang gila selfi tentunya melakukan pembelaan terhadap apa yang telah dilakukannya. Kenapa Felix begitu mempermasalahkannya sebagai suatu bentuk pelanggaran dan termasuk hal yang sia-sia? Kalau dilihat, memang dengan fasilitas resolusi gambar yang dimiliki oleh smartphone saat ini sangat memungkinkan bagi setiap orang untuk memotret dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Terlebih lagi bahwa  fasilitas yang membagikan hasil jepretan kita tersebut ke dalam media sosial juga dengan sekali tombol share. Tentu mendorong setiap individu untuk sekedar berbagi dengan rekan rekan di dunia maya.
Mungkin apa yang dikaji tersebut saya dapat menyimpulkan bahwa konteks agama itu sendiri terbagai menjadi dua. Pertama adalah orang yang menyimpulkan agama tersebut sebagai misionaris, yaitu mempunyai tujuan yang radikal, dan kaku. Semua yang tidak ada dalam  tuntunan kontekstual kitab suci dianggap tidak sesuai dan membahayakan bagi kehidupan beragama, pada umumnya misionaris ini menganggap perbedaan tersebut sebagai pengkultusan perlawanan. Sedikit idealis memang, dan arahannya langsung copy paste tanpa menyesuaikan. Mungkin Felix termasuk misionaris dengan menganggap semua yang tidak setuju dengannya sebagai bentuk oposisi, sehingga labeling “perbuatan yang sia-sia” selalu melekat pada individu yang kebarat-baratan (itu menurut felix). Hal yang serupa dilakukan ketika Raden Patah ingin membentuk negara khilafah yang keluar dari konteks keberagaman dalam beragama. Begitulah konteks hegemoni dalam beragama yang begitu dikultuskan oleh Felix Siaw
Paham kedua adalah ketika kita membawa agama dari konteks moderat yakni sebagai penyelaras dan penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat. Mengedepankan kenyamanan dalam hidup dengan lain keyakinan. Mengedepankan toleransi, dan tentunya mengedepankan paradigma berfikir kritis terhadap fleksibilatas konteks agama sendiri. Dalam Islam, hal ini sering dikaitkan dengan paham liberal dan abangan atau pencampuran dengan unsur kebudayaan. Minoritas akan sangat merangkul paham moderat ini, dan tentunya tidak menjadikan agama tersebut seperti sate kambing (kata teman saya) yang bisa membuat darah tinggi dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Easy going guys termasuk kedalam golongan manakah kalian? Itu saja.

Humanisme Dunia



HUMANISME DUNIA
(Kepedulian Dunia Terhadap Konflik Suriah dan Terorrisme Paris Ditinjau dari Sudut Pandang Sosiologi Kekuasaan)

Oleh:
Faizal Kurniawan, S.Pd, M.Si[1]

Abstrak

Kata Kunci : Humanisme, Konflik Suriah, Terorisme Paris

Dunia sedang bergejolak, hal ini adalah satu argumentasi yang sangat lazim didengar pada akhir-akhir ini. Hal ini sebenarnya bermula pada konflik Suriah yang sudah berlangsung sejak tahun 2011. Pada tahun 2015 merupakan konflik puncak dari Suriah ini, ratusan ribu pengungsi suriah bergerak memadati eropa, sebagaian besar masyarakat eropa merasa welcome dengan kedatangan pengungsi suriah tersebut, humanisme dan dukungan terhadap pengungsi suriah tersebut mengalir  dari dunia kepada pengungsi suriah. Atas dasar peristiwa tersebut, umat muslim menjadi tersebar di beberapa kawasan eropa, dikarenakan mayoritas pengungsi tersebut masih membawa fanatisme terhadap agama Islam
Akan tetapi dukungan tersebut berubah menjadi tudingan terhadap pengungsi suriah yang memadati negara perancis. Setelah terorisme bom dan penembakan di Paris pada hari Sabtu tanggal 14 November 2015. Pengungsi Suriah dituduh sebagai komplotan militan ISIS dari negara mereka. Isu humanisme berbalik tertuju pada Kota Paris sebagai korban dari teorisme yang dilakukan oleh kelompok militan ISIS. Isu konflik terorisme di Paris berubah menjadi isu konflik agama. Pada awalnya isu humanisme yang berupa simpatik terhadap korban terorisme Paris, berubah menjadi kecaman yang mengatas namakan konflik agama.
Pada hari Minggu 15 November 2015 pihak media sosial Facebook yang dipimpin oleh usahawan muda Mark Zuckerberg membuat inovasi dalam aplikasi membuat pengubahan foto profil menjadi gradient warna bendera negara perancis biru-putih-merah sebagai dukungan moral terhadap korban terorisme perancis. Akan tetapi di Indonesia inovasi humanisme tersebut menjadi bahan perdebatan dan menghilangkan nilai-nilai kemanusian yang terkandung secara implisit di dalamnya. “Jika Kamu memperdulikan Paris kenapa kau melupakan Palestina dan lain-lain” begitu kira-kira yang dimaksudkan oleh netizen yang mengkritik humanisme ala facebook sebagai media sosial penyampai informasi nomor satu di dunia maya. Pembahasan ini mengupas tentang asal mula konflik suriah sampai kepada Konflik Paris yang menjadi perdebatan dalam isu humanisme.
A.     Latar Belakang
 Konflik yang terjadi di Suriah yang melibatkan pemerintah Suriah yang disini diperintah oleh presiden Bahsyar Al-Assad dengan kelompok radikal ISIS dan juga dengan Pemerintah Turki yang juga bersengketa terhadap wilayah perbatasan Turki-Suriah mengundang keprihatinan dunia dan juga kontra terhadap pihak-pihak yang menjadi kambing hitam terhadap konflik yang mengatas namakan agama tersebut.
            Pemberontakan Suriah 2011-2012 adalah persoalan kaum Muslimin karena para mujahid yang berperang melawan rezim Bashar di sana hakikatnya demi kepentingan Islam. Demonstrasi publik dimulai pada tanggal 26 Januari 2011, dan berkembang menjadi pemberontakan nasional. Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad, penggulingan pemerintahannya, dan mengakhiri hampir lima dekade pemerintahan Partai Ba'ath dan mengganti dengan sistem Islam yang kaffah di bawah naungan Khilafah.[2] Pemerintah Suriah dikerahkan Tentara Suriah untuk memadamkan pemberontakan tersebut, dan beberapa kota yang terkepung. Menurut saksi, tentara yang menolak untuk menembaki warga sipil dieksekusi oleh tentara Suriah. Pemerintah Suriah membantah laporan pembelotan, dan menyalahkan "gerombolan bersenjata" untuk menyebabkan masalah pada akhir 2011, warga sipil dan tentara pembelot dibentuk unit pertempuran, yang dimulai kampanye pemberontakan melawan Tentara Suriah.[3]
Para pemberontak bersatu di bawah bendera Tentara Pembebasan Suriah dan berjuang dengan cara yang semakin terorganisir, namun komponen sipil dari oposisi bersenjata tidak memiliki kepemimpinan yang terorganisir. Pemberontakan memiliki nada sektarian, meskipun tidak faksi dalam konflik tersebut telah dijelaskan sektarianisme sebagai memainkan peran utama. Pihak oposisi didominasi oleh Muslim Sunni, sedangkan angka pemerintah terkemuka adalah Alawit Muslim Syiah. Assad dilaporkan didukung oleh Alawi dan paling banyak adalah orang Kristen di negara ini.[4]
Sekjen PBB, Ban Ki Moon menggambarkan besarnya pengeluaran dana dunia untuk persenjataan. Di sisi lain, topik yang tak kalah memprihatinkan adalah mengenai perubahan iklim. Sekjen PBB itu juga sangat mencemaskan perang saudara di Suriah. Krisis ini, menurut Ban, bukan hanya terbatas dampaknya bagi Suriah saja, melainkan menjadi bencana pula bagi tatanan regional, yang juga berpengaruh pada skala global. [5]
Keprihatinan Dunia terhadap Suriah berpuncak pada konflik dimana ditemukannya mayat anak kecil laki-laki dai pengungsi Suriah bernama Aylan Kurdi di Kota Pesisir Bodrum, Turki. Sebanyak 23 orang pengungsi Suriah mencoba menyeberang dengan menggunakan dua buah kapal kecil. Mereka berangkat secara terpisah dari daerah Akyarlar semenanjung Bodrum, ungkap seorang pejabat senior angkatan laut Turki. Jumlah korban tewas yang sudah dapat diidentifikasi sebanyak lima orang anak-anak dan 1 orang wanita. Tujuh orang berhasil diselamatkan dan dua lainnya berhasil mencapai pantai dengan mengenakan pelampung.[6]. Tanda pagar "KiyiyaVuranInsanlik" dan "humanity washed ashore" sontak menjadi trending topik dunia di twitter. Bahkan hanya dalam beberapa jam, foto tersebut sudah di retweet ribuan kali.
Opini yang berkembang di Eropa terhadap para pengungsi asal Suriah terpecah. Para fans sepak bola di Jerman membentang spanduk berbunyi "selamat datang pengungsi" pada sebuah pertandingan. Sementara di Inggris, sebuah surat kabar menyebut para migran dengan sebutan "kecoak". Turki sendiri di masa Erdogan telah menampung hampir dua juta pengungsi asal Suriah dan Irak yang menjadi korban kekejaman rezim pemerintahan kedua negara tersebut. Setelah itu, giliran Kanselir Jerman yang mengizinkan para pengungsi memasuki negaranya
Keprihatinan dunia kembali pecah. Hal ini ditandai adanya serangan terror penembakan dan pemboman di kota Paris. Seperti dikutip dari Liputan6.com Stadion Stade de France, Paris, dipenuhi sekitar 80 ribu penggemar sepak bola yang sedang menyaksikan pertandingan persahabatan antara Timnas Prancis dan juara dunia Timnas Jerman. Lalu tiba-tiba, 3 suara ledakan keras terdengar dari luar stadion. Suara ledakan terdengar saat pertandingan masih babak pertama. Aksi pembantaian terkoordinasi bergema di seluruh dunia setelah penembakan oleh orang-orang bersenjata yang meneriakkan takbir, ledakan bom bunuh diri dan penyanderaan di gedung konser populer di pusat ibu kota Prancis itu.
Kejadian tersebut menunjukan betapa hiprokitnya dunia barat. Dan sudah dapat dipastikan Kebebasan yang ditawarkan tersebut bukanlah untuk Islam.[7] Akan tetapi pada hal ini ketika humanisme tersebut berpihak kepada masyarakat barat, di Indonesia seolah-olah menjadi kritik pedas. Kenapa bisa dikatakan sebagai kritik pedas, hal ini dikarenakan sistem keberpihakan media sosial yang memihak anti islam sangat kental terasa.
“Paris kena bom sekali aja seluruh dunia heboh kasih ucapan keprihatinan dan duka cita. Giliran Iraq, Libia, Palestina di bom berkali-kali kok gak seheboh ini,” tulis Seno Indrajit di grup Facebook Paguma (Paguyuban Madiun),[8]. Humanisme seolah-olah menjadi suatu hal yang ramai diperdebatkan. Mungkin beberapa orang beranggapan bahwa dengan menunjukkan keprihatinan yang kita sendiri tidak dapat membuktikan melalui perbuatan apapun, walaupun dimulai dengan hal kecil saja seperti mengganti foto profil di media facebook kita dengan gradient warna bendera negara perancis merah putih biru. Sangat kontras bila dibandingkan dengan kasus penemuan mayat balita Aylan Kurdi di pesisir pantai Turki. Kita sering menyalahartikan tindakan sekelompok orang sebagai representasi keseluruhan kelompok. Sehingga yang terjadi adalah misjudgment tindakan radikal, dimanapun, oleh siapapun, sebagai representasi keseluruhan kelompok asalnya. Padahal tindakan radikal dimanapun, oleh siapapun, tidak pernah berasal dari agama penuh cinta. Karena itu bagaikan jalan tanpa tujuan Pembahasan kali ini mencoba menjelaskan kedua kasus tersebut melalui sebuah pembahasan yang ditinjau dari sudut pandang sosiologi kekuasaan.
B.      Konflik Suriah dan Pandangan Dunia
Akibat Konflik Suriah Angka kelahiran rata-rata tahunan di Suriah merosot drastis sejak tahun 2011. Penurunan tersebut mencapai 50 persen.[9] sebelum perang saudara berkecamuk angka kelahiran di negara itu mencapai 500.000 kelahiran dalam setahun. Salah mengungkap, berpindahnya warga Suriah ke luar negeri khususnya warga Suriah berusia produktif menjadi penyebab penurunan angka kelahiran tersebut. Saat dikonfirmasi kepada sumber pemerintah, jumlah rata-rata angka kelahiran di Suriah kini hanya 200.000 kelahiran. Sumber pemerintah itu mengatakan, menurunya angka kelahiran dikarenakan kalangan muda Suriah kini enggan menikah. Faktor lain, tingginya angka perpindahan penduduk Suriah ke negara lain.
Kantor Imigrasi Suriah melaporkan rata-rata 5.000 orang dalam sehari mengajukan pembuatan paspor baru pada 2015. Pada tahun lalu, jumlah pengajuan paspor baru mencapai 1.000 permohonan. Al Watan juga menuliskan dampak peperangan berpengaruh terhadap daya beli warga Suriah. Ini dikarenakan, sekitar separuh dari angkatan kerja di Suriah kini juga menganggur dan kelangkaan itu memicu inflasi tinggi.
Awal mula perang suriah adalah dilatar belakangi oleh kekecewaan rakyat Suriah terhadap rezim Bashar Asaad yang otoriter dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Rakyat Suriah kemudian melakukan aksi damai menuntut keadilan. Akan tetapi rezim Bashar malah menanggapi aksi damai tersebut dengan kekerasan.[10]
Puncaknya adalah ketika ada anak Suriah menuliskan kata-kata di tembok tentang Bashar Asaad, kemudian anak ini di bawa oleh tentara Asaad setelah di intrograsi anak kecil ini dikelupas kulitnya, lalu ditumpahkan cairan ketubuh yang mengelupas, sehingga sakitnya tiada terperikan. Tentara Bashar sambil berteriak menuhankan Bashar Al-Asad, siksaan demi siksaan dilakukan terhadap para tawanan yang dituduh menentang rezim Bashar Asad, padahal orang-orang ini hanyalah penduduk kampong. Setelah peristiwa itu rakyat Suriah mulai melakukan revolusi (perlawanan) terhadap rezim Asaad. Berbeda dengan revolusi di jazirah arab lain seperti di Libya dan Mesir dimana on targetnya adalah kekuasaan. Akan tetapi perang Suriah adalah revolusi Rabbani yaitu revolusi agama. Mereka berperang karena hendak membela agama Islam melawan agama Syiah. Mengenai kesesatan-kesesatan Syiah sudah tidak disangkal lagi hampir semua ulama menyatakan mereka bukan Islam di antaranya adalah Ulama Ibnu Taimiyah.
C.      Resistensi Rezim Baath
Sejak kudeta yang dilakukan oleh sekelompok perwira militer pimpinan Abdul Karim Nahlawy di tahun 1961, pemerintahan Suriah berada dibawah kendali Partai Baath (Hizb Al-Ba’ats Al-Isytiraki) hingga kini. Partai Baath sendiri merupakan partai yang mengusung ideologi Baath’isme, yang berintikan nilai-nilai Nasionalisme dan Sosialisme Arab, atau bisa dikatakan pula ideologi sosialisme ‘khas’ Arab.  Ideologi ini diintrodusir oleh seorang intelektual Suriah beragama Kristen, Michel Aflaq, pada saat kolonialisme Eropa masih mencengkram Timur Tengah pasca keruntuhan Daulah Turki Ustmani tahun 1924. Selain Suriah, rezim-rezim di dunia Arab yang pernah menggunakan ideologi ini sebagai dasar negara  adalah pemerintahan Gamal Abdul Nasser di Mesir (1952-1970), rezim Muamar Khadafi di Libya (1969-2011) serta rezim Saddam Husein yang berkuasa di Irak hingga tahun 2003.[11]
     Perlawanan Assad terhadap Israel diperlihatkan tatkala perang saudara bernuansa sektarian meletus di Lebanon pada tahun 1975-1989.  Saat itu, awalnya Suriah mengirim pasukan  militer ke Lebanon guna melindungi kelompok Druze dan Syiah. Namun setelah masuknya tentara Israel ke Lebanon  di tahun 1982 dengan alasan melindungi kelompok Kristen (meski alasan sebenarnya adalah memburu kelompok perlawanan Palestina di Lebanon), pasukan Suriah pun turut melawan  kehadiran militer Israel di Lebanon.[12]
     Sementara itu, perlawanan Assad terhadap Barat ia tunjukkan dengan mendukung Revolusi Islam di Iran tahun 1979.[13] Revolusi yang berujung pada berkuasanya kaum Mullah Syiah pimpinan Ayatullah Rohullah Khomeini itu memang merubah secara drastis haluan politik luar negeri Iran yang tadinya bersahabat erat dengan Amerika Serikat (AS) menjadi  negara yang sangat anti AS dan Israel.
     Suriah juga berpihak kepada Iran dalam Perang Iran-Irak  tahun 1980-1988, ketika AS menunjukkan dukungannya pada Irak demi menhambat revolusi Islam Iran. Hal ini menjadikan Suriah dan Iran sebagai sekutu dekat hingga kini, apalagi ditambah dengan fakta bahwa mayoritas anggota Partai Baath Suriah berasal dari kalangan Alawit, suatu aliran dalam ajaran Syiah. Inilah pula yang menjadi penyebab ketidakharmonisan pemerintahan Assad dengan rezim Saddam Husein di Irak. Kebijakan represif Saddam terhadap kaum Syiah Irak membuat tidak senang pemerintah Suriah, meskipun keduanya berbasiskan ideologi yang sama, Baath’isme.[14]
     Politik perlawanannya terhadap AS dan Israel pun membuat rezim Assad tidak disukai pihak Barat. Namun, rezim Assad justru memiliki hubungan ‘mesra’ dengan Uni Sovyet, apalagi dalam politik domestiknya kaum komunis Suriah juga mendukung rezim Assad. Dalam sejarahnya pun, Uni Sovyet memang berpihak pada Negara-negara Arab ketika mereka berperang melawan Israel, seperti  pada Perang Enam Hari dan Krisis Terusan Suez tahun 1956.
      Wafatnya Hafez al-Assad pada tahun 2000 diikuti dengan naiknya Bashar al-Assad,[15] yang tak lain merupakan  putra Hafez Assad, ke tampuk kekuasaan eksekutif di Suriah. Di bawah Bashar,  perekonomian Suriah mengalami sedikit perubahan dengan mengadopsi sebagian sistem ekonomi pasar. Sementara pada masa pemerintahan Hafez Assad, Suriah menganut perekonomian etatis-sentralistis.[16]
Rezim Bashar Assad juga mencatat prestasi lainnya, yakni penghapusan dan pemotongan hutang luar negeri Suriah pada negara-negara Eropa Timur yang muncul sejak era awal berkuasanya partai Baath melalui program penjadwalan kembali pembayaran hutang Suriah yang dimulai pada tahun 2004. Dalam program itu, Polandia menyetujui pembayaran hutang Suriah  sebesar 2,7 juta dollar AS dari total 261,7 juta dollar AS. Lalu, Rusia bahkan telah membebaskan 75 persen hutang Suriah yang total nilainya 13 miliar dollar AS. Sama dengan Rusia, Republik Ceko dan Slovakia juga berkenan memotong hutang Suriah yang semula 1,6 miliar dollar AS menjadi 150 juta dollar AS.[17]
Pertumbuhan ekonomi Suriah tanpa menyertakan modal Barat, khususnya AS, dalam jumlah signifikan itu mengundang respon pihak Barat. Dengan ‘bungkus’ tuduhan AS atas keterlibatan Suriah dalam pembunuhan mantan PM Lebanon Hariri di awal 2005,  sanksi embargo terhadap Suriah pun dijatuhkan AS melalui Syria Account-ability Act. Pemerintah Suriah pun merespon kebijakan AS itu dengan  mengubah seluruh transaksi dalam dan luar negeri Suriah dari mata uang dollar AS menjadi Euro pada awal tahun 2006. Hal ini memicu kebencian yang lebih mendalam dari AS terhadap Suriah. Ditambah lagi dengan dukungan yang tiada henti dari Suriah kepada kelompok Hizbullah saat Israel mengagresi Lebanon guna menghancurkan gerilyawan Syiah tersebut pada pertengahan 2006.

D.     Aylan Kurdi – Bentuk Kepedulian Dunia
Setelah berhari-hari tertahan di Stasiun Keleti, Budapest, Hungaria, pencari suaka berjumlah sekitar 1.000 orang memilih untuk berjalan kaki menuju perbatasan Austria menuju Jerman. Pria, wanita, anak-anak dan orang tua membawa barangnya masing-masing menyusuri jalan tol yang panjang. Perjalanan dimulai Sabtu 4 September pagi hari. Matahari terik menemani mereka. Tidak ada satu pun polisi yang menahan mereka. Aparat keamanan Hungaria hanya membantu mengarahkan ke mana mereka harus berjalan dan mengatur lalu lintas."Kami pilih jalan saja. Tak punya pilihan," kata seorang pengungsi pria kepada BBC, Sabtu malam 4 September 2015. Ia telah berjalan hampir 30 km.[18]

Para pengungsi Suriah dan Afghanistan kini jadi perhatian dunia. Balita Aylan Kurdi yang tewas saat berusaha mencari harapan baru di Eropa membuka mata negara-negara tujuan para pencari suaka. Barang-barang bawaan mereka saat berkelana tak luput jadi pemberitaan. Tak ada koper besar atau tumpukan pakaian yang dibawa para pengungsi itu saat meninggalkan kampung halamannya. Mereka hanya membawa baju yang terpasang di tubuh dan beberapa perlengkapan untuk bertahan hidup.
Total ada 4 juta pengungsi Suriah yang meninggalkan negaranya sejak tahun 2011. Mereka hanya membawa apa saja yang ada di tubuh dan penunjang kehidupan seadanya. Mereka kini mulai berusaha menjangkau Eropa dengan harapan baru. Namun tak semua negara mau menerima. Sebagian ada yang masih tertahan di Hungaria.[19]
Eropa menghadapi krisis pengungsi dalam skala yang belum pernah terukur sejak Perang Dunia Kedua. Jumlah manusia yang berharap menggenggam status pengungsi terus menanjak sejak paruh pertama 2014, utamanya menyusul konflik berdarah di Suriah dan Irak. Sebanyak 38 negara Eropa mencatat bahwa 264 ribu aplikasi permintaan suaka telah diserahkan.Dibandingkan dengan 2013, peningkatannya mencapai 24 persen. Dari jumlah tersebut, 216.300 di antaranya diajukan di 28 negara anggota Uni Eropa. Jerman, Perancis, Swedia, Italia dan Inggris adalah lima negara besar UE yang menerima aplikasi, demikian UNHCR, Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk urusan Pengungsi.
Antonio Guterres, direktur UNHCR, bahkan meminta UE untuk sepenuh daya menangani krisis ini. "Bagi [UE] dan negara-negara anggotanya, sat u-satunya jalan menyelesaikan masalah [pengungsi] adalah penerapan strategi bersama berdasar rasa tanggung jawab, solidaritas, dan kepercayaan," ujarnya. Suriah menjadi negara yang mengajukan aplikasi suaka terbanyak di 11 dari 28 negara anggota UE, termasuk 41 ribu aplikasi yang diserahkan ke Jerman dan 31 ribu ke Swedia. Jerman sanggup menampung hingga 500 ribu pengungsi setahun. Dan di negara yang disebut belakangan, pihak berwenang mengurusi pendatang, Migrationsverket, mengizinkan keluarga dari warga Suriah yang telah menjadi penduduk tetap untuk pindah ke negeri tersebut. [20]
Perhatian terhadap mereka kembali menggema setelah beredar foto bocah bernama Aylan yang tewas di pantai Bodrum Turki. Keluarganya terpaksa mengungsi beberapa kali di dalam wilayah Suriah, sebelum kembali ke Kobane pada Juni lalu, dengan harapan bisa tinggal di sana. Namun kemudian militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menguasai Kobane dan menyandera warga setempat. Keluarga ini lantas memutuskan untuk mencapai wilayah Eropa melalui Turki. Setelah menabung selama sebulan dan meminjam uang dari kerabat, keluarga ini menumpang kapal kecil bersama puluhan pengungsi lainnya menuju Pulau Kos, Yunani. Namun di tengah perjalanan, kapal mereka terbalik dan tenggelam. Abdullah menuturkan, anak-anaknya terlepas dari genggaman tangannya. Aylan meninggal saat perahu yang ia tumpangi bersama sejumlah imigran Suriah lain tenggelam. Para imigran ini diketahui bertolak dari Semenanjung Bodrum, Turki untuk menuju Pulau Kos, Yunani. Aylan adalah salah satu 12 korban meninggal dunia dalam kejadian tersebut.
Segera setelah foto jenazahnya yang sedang terdampar di pantai menyebar ke berbagai belahan dunia melalui internet, tanda pagar (tagar) #KiyiyaVuranInsanlik yang berarti "kemanusiaan telah terdampar" menjadi trending topic dunia. Netizen mendiskusikan meninggalnya Aylan dengan menggunakan tagar tersebut. Ada yang mengungkapkan kesedihannya, ada pula yang mengritik sikap dunia internasional yang membuat nasib para imigran terlunta-lunta.[21]






Gambar 1.1 Dukungan Netizen Terhadap Aylan Kurdi Korban Pengungsi Suriah

Selain menjadi bahan diskusi di dunia maya, lalu belakangan forum-forum pengambilan kebijakan terkait krisis imigran Eropa, meninggalnya Aylan Kurdi juga menjadi inspirasi lahirnya sejumlah kartun. Muatan kartun-kartun tersebut beragam. Ada yang melukiskan Aylan dan imigran anak-anak lain yang turut menjadi korban bersamanya sedang tidur dengan ombak laut menjadi "selimut" mereka, ada pula yang mengandung kritik sosial terhadap sikap dunia internasional terhadap para imigran.








Gambar 1.2 Contoh Kartun yang Terinspirasi Aylan Kurdi buatan netizen
The tragic photo of young Alan Kurdi and the news of the death of his brother and mother broke hearts around the world," the minister said in a statement on Thursday. The Conservative government of Stephen Harper also came under attack from opposition Liberal leader Justin Trudeau for not accepting more refugees, suggesting the minister was doing too little too late."You don't get to suddenly discover compassion in the middle of an election campaign. You either have it or you don't," Mr Trudeau said during a campaign stop on Thursday.He urged the Canadian authorities to allow in 25,000 Syrian refugees. [22]

Kematiannya menuai simpati penduduk dunia, yang menuntut pemimpin Eropa bertindak untuk mengatasi krisis pengungsi.[23]
E.      Argumentasi “Anti Arab” sebagai Implisit Penolakan Pengungsi Suriah
Saat negara-negara Barat bergulat dengan krisis pengungsi paling serius sejak Perang Dunia II, sebagian besar dari mereka yang melakukan perjalanan sangat berbahaya itu berasal dari Suriah, ada keprihatinan mendalam terkait kegagalan negara-negara Arab Teluk yang kaya minyak untuk membuka pintunya bagi para pencari suaka.
BBC pekan lalu melaporkan, kemakmuran dan kedekatan negara-negara Arab Teluk dengan Suriah telah menimbulkan banyak pertanyaan soal apakah mereka punya kewajiban lebih besar ketimbang negara-negara Eropa.Pertanyaanitumunculdalamhashtag #Welcoming_Syria's_refugees_is_a_Gulf_duty di media sosial Twitter berbahasa Arab.
BBC juga mengutip harian Makkah yang bahkan menerbitkan kartun, yang juga disebarkan lewat media sosial. Kartun itu memperlihatkan seorang pria berbaju tradisional dari negara Teluk. Dia melihat ke sebuah pintu berpagar kawat berduri dan menunjuk pintu lain berbendera Uni Eropa sambil berkata, "Kenapa kamu tak mengizinkan mereka masuk? Dasar orang-orang tidak sopan!?" Kartun ini secara jelas menyindir keras sikap pemerintah negara-negara Teluk.[24]
SMH mengutip Amnesty International yang mengatakan bahwa negara-negara Teluk "karena kedekatan geografis, hubungan sejarah dengan Suriah, dan potensi integrasi yang relatif mudah karena punya kesamaan bahasa dan agama, harus melakukan kontribusi yang signifikan terhadap pemukiman kembali para pengungsi Suriah." Belum lama ini Arab Saudi mendirikan pagar kawat berduri di sepanjang perbatasannya ke Irak yang juga dijaga pasukan bersenjata, dengan alasan mencegah penyusupan "jihadis" ISIS ke wilayahnya. Namun para pengamat menilai, pagar ini juga upaya mencegah masuknya pengungsi Suriah lewat Irak ke negara kayaraya itu.[25]
Sikap negara-negara Teluk yang kayaraya itu, juga dikecam dalam berbagai media maupun dalam karikatur. Di saat negara-negara Eropa dengan tangan terbuka menampung lebih 350.000 pemohon suaka, negara Teluk menolak kedatangan pengungsi dengan alasan takut disusupi kelompok teroris.
Sejauh ini negara-negara kaya di kawasan Teluk, tidak mengeluarkan satupun pernyataan resmi menyangkut krisis pengungsi di Timur Tengah itu, demikian kritik tajam harian Qatar Gulf Times. Seorang blogger asal Kuwait, Sultan al Qasemi juga menulis kritik, "Kini sudah tiba saatnya negara-negara Teluk mengambil tanggung jawab, moral dan etika untuk menjawab krisis serta mengubah politiknya.
Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Bahrain dan Uni Emirat Arab, yang secara wilayah lebih dekat dengan Suriah, memiliki kapasitas untuk menampung pengungsi dari Suriah. Sikap cepat dari negara-negara tersebut, seharusnya bisa mencegah tragedi yang dialami oleh Aylan Kurdi, kakaknya Ghalib dan ibunya, Rehan yang tewas ketika ingin menyelamatkan diri dari kondisi perang yang berkecamuk di negaranya.Hingga saat ini, negara-negara Arab yang super kaya ini masih belum bertindak untuk menerima empat juta warga Suriah yang keluar dari negara itu. Mereka justru ditampung oleh negara seperti Irak, Turki, Lebanon, Yordania dan Mesir. Negara-negara ini memang aman, tetapi mereka masih harus menghadapi ancaman lain yakni, kelompok Islamic State (ISIS). ISIS menguasai sebagian wilayah Suriah. Pemerintah Suriah yang dipimpin oleh Presiden Bashar Al-Assad, juga harus menghadapi ancaman dari pihak pemberontak yang menginginkannya lengser sejak 2011 lalu.

F.       Terorisme Paris dan Impulse Terhadap Humanisme Dunia
ISIS masih menguasai banyak wilayah Suriah dan Irak, yang berupaya direbut kembali oleh pasukan pemerintah maupun kelompok pemberontak moderat.  Serangan teror bersenjata dan bom ke The City Of Light terjadi hanya beberapa jam setelah Pentagon mengumumkan serangan udara militer AS ke Raqa, sebuah kota di Suriah yang dipercayai menjadi salah satu pusat kegiatan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Jihadi John, warga Inggris yang namanya mendunia dan dianggap sebagai jagal yang secara sadis mengeksekusi tahanan ISIS, dikabarkan tewas dalam serangan udara itu. Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan serangan udara militer AS adalah aksi membela diri, dan mengatakan kematian Jihadi John, yang nama aslinya adalah Mohammad Emwazi, belum bisa dipastikan.[26] Orang Prancis sudah tahu akan adanya serangan besar. Beberapa pekan lalu ada upaya serangan di kereta Amsterdam-Paris yang gagal. Dan bulan-bulan sebelumnya ada beberapa jaringan teroris yang dibongkar aparat keamanan. Orang Prancis tahu mereka di garis depan melawan teroris karena kami paling terlibat dalam memerangi ISIS di Suriah, juga jaringan lain di Afrika Utara, di Mali, Pantai Gading dan lain-lain.[27]
Paris, yang akan menjadi tuan rumah pertemuaan Conference of Parties (COP) 21 itu sebenarnya sejak 30 Oktober sudah mengetatkan keamanan di pintu perbatasan negara itu. COP 21, atau Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim, akan digelar tanggal 30 November sampai 11 Desember 2015. Puluhan kepala pemerintahan termasuk Presiden AS Barrack Obama dan Presiden Joko Widodo dijadwalkan hadir. Serangan Jumat malam ini seperti tamparan menyakitkan bagi keamanan dan intelijen Perancis. Januari tahun ini, Paris juga diguncang tragedi penyerangan ke kantor redaksi Charlie Hebdo. Tragedi Charlie Hebdo mengoyak sendi kehidupan di negeri yang memiliki moto liberte, egalite, dan fraternite itu. Prinsip kemerdekaan, keadilan dan persaudaraan yang didengungkan ratusan tahun dipertanyakan, apakah benar penerapannya? Militer Perancis ikut serta dalam serangan udara di Irak dan Suriah sejak 19 September 2014 (Operasi Chammal). Bulan Oktober 2015, Perancis menyerang sejumlah target di Suriah untuk pertama kalinya. NIIS menyinggung kampanye serangan udara Perancis dalam klaim serangannya di Paris.[28]
Pada malam hari tanggal 13 November 2015, serangkaian serangan teroris terencana penembakan massal, bom bunuh diri, dan penyanderaan—terjadi di Paris, Perancis dan Saint-Denis, kota pinggiran sebelah utara. Sejak pukul 21:16 CET,[29] terjadi enam penembakan massal dan tiga bom bunuh diri terpisah dekat Stade de France.[30] Serangan paling mematikan terjadi di teater Bataclan, lokasi penyanderaan dan tembak-menembak antara pelaku dan polisi yang berakhir pukul 00:58 tanggal 14 November.Sedikitnya 129 orang tewas, 89 di antaranya di teater Bataclan. 352 orang lainnya cedera dalam serangan ini, termasuk 99 penderita luka serius Selain korban sipil, enam pelaku tewas dan pihak berwenang masih terus memburu pelaku lain. Sebelum serangan terjadi, pemerintah Perancis meningkatkan kewaspadaan setelah serangan Januari 2015 di Paris yang menewaskan 17 orang, termasuk warga sipil dan polisi. Pukul 23:58, Presiden François Hollande mengumumkan Keadaan darurat untuk pertama kalinya sejak kerusuhan 2005, dan menutup perbatasan Perancis untuk sementara. Jam malam diberlakukan di Paris untuk pertama kalinya sejak 1944.[31]
     Tanggal 14 November, Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) mengaku bertanggung jawab atas serangan ini.[32] Motif NIIS adalah balas dendam atas keterlibatan Perancis dalam Perang Saudara Suriah dan Perang Saudara Irak. Hollande mengatakan bahwa serangan ini sudah direncanakan dari luar negeri "oleh Daesh," singkatan NIIS dalam bahasa Arab, "dengan bantuan di dalam negeri,"[25] dan mencap serangan ini sebagai "tindakan perang."  Serangan ini merupakan aksi paling mematikan yang terjadi di Perancis sejak Perang Dunia II, dan di Uni Eropa sejak bom kereta api Madrid tahun 2004.

G.     Pro-Kontra Aksi Kemanusiaan Dukungan Moral Tragedi Paris Melalui Media Sosial dalam Proses Sosialisasi
       Merespon serangan tragis di Paris, Prancis, Facebook merilis filter foto khusus. Filter foto itu menampilkan warna bendera Prancis, dimaksudkan sebagai tanda duka dan solidaritas pengguna Facebook. Wakil Presiden Facebook untuk Bidang Messenger, David Marcus, menjadi salah seorang yang pertama kali memperkenalkan kampanye ini. Tunjukkan dukungan Anda untuk rakyat Paris, dengan memperbarui untuk sementara gambar profil Anda, dengan template baru yang kami ciptakan. Terima kasih," demikian terjemahan bebas status Marcus. Model kampanye seperti ini, bukan yang pertama kali bagi Facebook. Juni 2015, mereka merilis filter foto berbendera pelangi, sebagai ekspresi dukungan terhadap pernikahan sejenis.
     Meski banyak pengguna yang mulai menjajal fitur ini, muncul pula sejumlah kritik. Pasalnya, Perancis bukan satu-satunya negara yang menerima serangan tragis dalam beberapa hari terakhir. Sejumlah netizen mempertanyakan, sikap Facebook yang mendorong pengguna menunjukkan dukungan untuk Perancis, tapi tidak melakukan hal yang sama pada Lebanon. Beberapa pengguna Twitter asal Indonesia juga menyayangkan, karena fitur filter foto itu tak menyediakan bendera lain seperti Palestina dan Suriah, yang menurut mereka juga sering menjadi korban karena teror dan perang. Meski begitu, tak sedikit juga pembelaan yang muncul ihwal penggunaan filter foto berbendera Perancis.[33]
     Bisakah kita mengadili pikiran? Bisakah kita menguji niat baik? Barangkali begini, mereka yang memakai avatar media sosial dengan bendera ingin menunjukan kepedulian, sekadar solidaritas. Karena, mungkin mereka sudah berdoa, mereka ingin membantu, tapi tidak bisa. Dengan menggunakan avatar dengan bendera Perancis, mereka setidaknya berusaha menunjukan kepedulian kepada mereka yang kehilangan, kepada mereka yang bersedih bahwa saya peduli[34].
Sebuah argumentasi yang bersifat dukungan terhadap pihak-pihak yang mengikuti saran dari pemilik facebook yang menggunakan foto profil dengan latar belakang gradient warna bendera Perancis. Tentu pro dan kontra tersebut terus menerus terjadi dan tertulis dalam media internet, baik itu pihak yang mendukung solidaritas humanisme untuk perancis maupun yang memperdebatkan hal tersebut. Pura-pura peduli lebih baik daripada menyebar kebencian, fitnah, dan kebohongan. Solidaritas kemanusiaan mungkin bisa masuk dari pura-pura peduli, sampai nanti akhirnya benar-benar peduli.
     Media sekali lagi berperan sebagai pembawa isu-isu sentral. Karena media sosial yang disini berhadapan langsung dengan smartphone sebagai media penyalur inspirasi seseorang dan juga sebagai penunjuk konteks eksistensi individu disebuah pergaulan dunia maya.
H.     Paradigma Humanisme Dunia Ditinjau dari Konteks Sosiologi Kekuasaan
Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Oleh karena itu, kekuasaan (power) sangat menarik perhatian para ahgli ilmu pengetahuan kemasyarakatan. Sesuai dengan sifatnya sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi tidak memandang kekuasan sebagai sesuatu yang baik atau yang buruk. Sosiologi mengakui kekuasaan sebagai unsur yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat.[35] Pengertian yang lebih sederhana kekuasaan adalah sesuatu yang mengandung unsur-unsur, seperti pengaruh, kepatuhan, pemaksaan dan Otoritas[36]
Pelaksanaan kekuasaan pada kenyataannya seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan penguasa. Kegagalan pelaksanaan ini terkadang muncul karena perbedaan persepsi antara yang menguasai dan yang dikuasai. Untuk kelancaran, pihak penguasa seharusnya selalu mendapatkan dukungan dari yang dikuasai. Untuk mendapatkan dukungan, dapat dilakukan dengan cara  menarik simpati masyarakat dengan menjalankan kekuasaan sekaligus menanamkan kepercayaan yang kuat terhadap pihak yang dikuasai[37]
Dari sekelompok individu dipilih salah satu yang mempunyai kelebihan di antara individu yang lain, dari hasil kesepakatan bersama, maka munculah seorang yang memimpin dan di sebut sebagai pemimpin. Kepemimpinan adalah perilaku seseorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama.[38]
Pelaksanaan kekuasaan pada kenyataannya seringkali tidak semulus yang diharapkan oleh kaum yang berkuasa. Rasa ketidakpuasan dari yang dikuasai dapat saja muncul karena perbedaan - perbedaan alam pikiran yang menguasai dengan yang dikuasai. Untuk menjalankan kekuasaan secara lancar, pihak penguasa senantiasa berusaha untuk mendapatkan dukungan dari yang dikuasai. Hal ini untuk menyatakan bahwa kekuasaan yang diselenggarakan memiliki legitimasi atau legal dan baik bagi masyarakat bersangkutan. Untuk mendapatkan dukungan dari pihak lain, golongan yang berkuasa harus berupaya menanamkan kekuasaannya melalui jalan menghubungkan dengan kepercayaan dan perasaan-perasaan yang kuat di dalam masyarakat.[39]
Kajian tersebut sesuai dengan pernyataan Teori Antagonisme Politik. Dimana sebuah realitas yang menempatkan sesuatu melawan sesuatu, baik itu untuk merebut kekuasaan atau mempertahankan kedudukan. [40]  Maurice Duverger melihat bahwa antagonism politik lahir dari berbagai sebab yang digolongkan dari berbagai kategori. Pertama sebab individual seperti kecerdasan dan faktor psikologis. Kedua sebab kolektif seperti faktor-faktor sosial dan faktor sosiokultural.
Media sosial disini turut berperan serta dalam membentuk isu sentral humanisme. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberpihakan media membawa penggiringan opini humanisme kearah humanisme dengan pihak tertentu. Media sosial juga bisa berperan serta menjadi kaum elite dalam membuat isu-isu yang bisa saja dapat mengacaukan stabiltas sosial. Perjuangan politik kaum elite tidak tergerak terutama oleh kepentingan diri sendiri.
Konflik Suriah dan Teorisme Paris telah disajikan oleh media sesuai dengan porsi kemana dia berpihak. Tidak melupakan konteks bahwa disini media adalah kelompok elite yang bisa membawa isu kedua konflik tersebut kepada pemihakan suatu kelompok tertentu. Hal tersebut sesuai dengan argument Pareto bahwa individu-individu yang paling mampu dalam setiap cabang kegiatan manusia. Mereka berjuang melawan kaum-kaum yang kurang berbakat, dan kurang mampu menguasai dan mencapai posisi kekuasaan yang disini adalah pihak yang tidak memiliki media sebagai wadah penyalur aspirasi mereka. Namun dalam usaha ini mereka diblokir oleh kecendrungan kaum elite yang berkuasa untuk membentuk oligarki-oligarki yang mengabdikan diri sendiri secara turun temurun sehingga membatasi gerakan kaum elite untuk maju ke tangga sosial dari mereka yang paling baik.[41]   
I.        Referensi
Internet
Battle for Aleppo Intensifies, as World Leaders Pledge New Support for Rebels". The New York Times. 28 September 2012. Diakses tanggal 8 October 2012
Battle for Aleppo Intensifies, as World Leaders Pledge New Support for Rebels". The New York Times. 28 September 2012. Diakses tanggal 8 October 2012
Saeed Kamali Dehghan (28 May 2012). "Syrian army being aided by Iranian forces". The Guardian. Diakses tanggal 18 August 2015.
Seale, Patrick (1990). Asad: The Struggle for the Middle East. University of California Press. ISBN 978-0-520-06976-3. Diakses 11November 2015
Pipes, Daniel (1996). Syria Beyond the Peace Process. Washington Institute for Near East Policy. ISBN 978-0-944029-64-0. Diakses 11November 2015
Reich, Bernard (1990). Political Leaders of the Contemporary Middle East and North Africa: A Biographical Dictionary. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-313-26213-5. Diakses 11November 2015
Nossiter, Adam (13 November 2015). "Multiple Attacks Roil Paris; President Hollande Is Evacuated From Stadium". The New York Times. Diakses tanggal 13 November 2015.
Claire Phipps; Kevin Rawlinson (13 November 2015). "All attackers dead, police say, after shootings and explosions kill at least 150 in Paris – live updates". The Guardian. Diakses tanggal 14 November 2015.
"Islamic State Releases Official Statement: 'We Did It And Paris Is Just The Start Of A Storm'". DiscloseTv. 14 November 2015. Diakses tanggal 14 November 2015.
Buku
Abdulsyani. 1994. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
Carter, Terry; Dunston, Lara; Thomas, Amelia (2008). Syria and Lebanon. Lonely Planet. ISBN 978-1-74104-609-0.
Helga Drummond, Cara Merebut dan Mempertahankan  Kekuasaan (Abdi Tandur: Jakarta, 1995
Hemphill, J. K., & Coons, A. E. (1957). Development of the leader behavior description questionnaire. In R. M. Stodgill and A. E. Coons (Eds.), Leader behavior: Its description and measurement. Columbus, Ohio: Bureau of Business Research, Ohio State University, pp. 6-38
Khoe Soe Khiam. Sendi sendi Sosiologi ( ilmu masyarakat). Bandung:Penerbit.Ganaco, 1963
Maurice Devurger, 2005, Sosiologi Politik. Penerjemah Daniel Dhakidae PT Raja Grafindo, Jakarta
Reich, Bernard (1990). Political Leaders of the Contemporary Middle East and North Africa: A Biographical Dictionary. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-313-26213-5.
Soekanto, Sujono, 1990 “Sosiologi, Suatu Pengantar” PT Raja Grafindo, Jakarta
Zahler, Kathy A. (2009). The Assads' Syria. Twenty-First Century Books. ISBN 978-0-8225-9095-8




[1] Alumnus S1 PLS UM Angkatan 2006, Alumnus Magister Sosiologi 2012, Universitas Muhammadiyah Malang, Dosen Pendidikan Sejarah dan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial dan Humaniora IKIP Budi Utomo Malang
[2] Battle for Aleppo Intensifies, as World Leaders Pledge New Support for Rebels". The New York Times. 28 September 2012. Diakses tanggal 8 October 2012.
[4] Saeed Kamali Dehghan (28 May 2012). "Syrian army being aided by Iranian forces". The Guardian. Diakses tanggal 18 August 2015.
[11]  Reich, Bernard (1990). Political Leaders of the Contemporary Middle East and North Africa: A Biographical Dictionary. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-313-26213-5.
[12] Zahler, Kathy A. (2009). The Assads' Syria. Twenty-First Century Books. ISBN 978-0-8225-9095-8
[13] Carter, Terry; Dunston, Lara; Thomas, Amelia (2008). Syria and Lebanon. Lonely Planet. ISBN 978-1-74104-609-0.
[14] Seale, Patrick (1990). Asad: The Struggle for the Middle East. University of California Press. ISBN 978-0-520-06976-3. Diakses 11November 2015
[15] Pipes, Daniel (1996). Syria Beyond the Peace Process. Washington Institute for Near East Policy. ISBN 978-0-944029-64-0. Diakses 11November 2015
[16] Reich, Bernard (1990). Political Leaders of the Contemporary Middle East and North Africa: A Biographical Dictionary. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-313-26213-5. Diakses 11November 2015
[30] Nossiter, Adam (13 November 2015). "Multiple Attacks Roil Paris; President Hollande Is Evacuated From Stadium". The New York Times. Diakses tanggal 13 November 2015.
[31] Claire Phipps; Kevin Rawlinson (13 November 2015). "All attackers dead, police say, after shootings and explosions kill at least 150 in Paris – live updates". The Guardian. Diakses tanggal 14 November 2015.
[32] "ISLAMIC STATE RELEASES OFFICIAL STATEMENT: 'WE DID IT AND PARIS IS JUST THE START OF A STORM'". DiscloseTv. 14 November 2015. Diakses tanggal 14 November 2015.
[35] Khoe Soe Khiam. Sendi sendi Sosiologi ( ilmu masyarakat). Bandung:Penerbit.Ganaco, 1963
[36] Helga Drummond, Cara Merebut dan Mempertahankan  Kekuasaan (Abdi Tandur: Jakarta, 1995
[37] Abdulsyani. 1994. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
[38] Hemphill, J. K., & Coons, A. E. (1957). Development of the leader behavior description questionnaire. In R. M. Stodgill and A. E. Coons (Eds.), Leader behavior: Its description and measurement. Columbus, Ohio: Bureau of Business Research, Ohio State University, pp. 6-38
[39] Soekanto, Sujono, 1990 “Sosiologi, Suatu Pengantar” PT Raja Grafindo, Jakarta
[40] Maurice Devurger, 2005, Sosiologi Politik. Penerjemah Daniel Dhakidae PT Raja Grafindo, Jakarta hal 156
[41] Maurice Devurger, 2005, Sosiologi Politik. Penerjemah Daniel Dhakidae PT Raja Grafindo, Jakarta hal 174