Jumat, 06 November 2015

Teori Alineasi Karl-Marx



Konsep alienasi atau keterasingan yang lahir dari pemikiran Karl Marx adalah muncul akibat adanya kapitalisme yang mengguncang Eropa pasca revolusi industri. Teori Alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksi industri yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan kehilangan kontrol atas hidup mereka, karena tidak lagi memiliki kontrol atas pekerjaan mereka. Para pekerja ini tak pernah menjadi otonom, yakni manusia yang mencoba untuk mandiri mengembangkan diri selalu terkotakkan oleh kaum borjuis. Karl Marx (1970) memopulerkan istilah ini dalam karya Economic and Philosophical Manuscripts tahun 1844 sebagai penjelasan atas kondisi keterasingan seseorang dari sifat sejati kemanusiaan mereka. Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk kreatif. Manusia membuat bentuk dari materi atau bahan di mana mereka mewujudkan jati diri mereka ke dalam apa yang mereka buat. Dalam masyarakat prakapitalis, manusia menjadi utuh ketika mereka menciptakan barang untuk mereka pakai sendiri atau mereka pertukarkan secara adil[1].
Namun, di dalam masyarakat kapitalis, karena para pekerja tidak mempunyai keinginan sendiri akan tetapi karena mereka menjual tenaga mereka, bisa dikatakan bahwa mereka teralienasi dalam empat hal[2]. Empat dasar yang diusung dalam keterasingan ini menurut Marx adalah pertama, para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari aktivitas produktif mereka. Para pekerja tidak bekerja sesuai dengan tujuan mereka sebagai manusia untuk bekerja dan mendapatkan suatu produksi yang berguna untuk mereka, akan tetapi aktivitas produktif mereka hanya berguna untuk kaum kapitalis. Para borjuis lah yang menentukan kepada kaum buruh pekerjaan apa yang akan mereka lakukan dan hasilnya menjadi milik pemegang kapitalis.
Yang kedua adalah alienasi dari produk. Kepentingan pemegang kapitalis benar-benar dipisahkan dengan para buruhnya. Apabila si buruh bekerja pada majikannya, mereka tetap harus membayar atas produk yang diproduksinya karena produk merupakan hak milik para kapitalis. Yang ketiga, pekerja dalam kapitalisme teralienasi dari sesama pekerja. Kapitalisme melarang para pekerja untuk bekerjasama dengan pekerja lainnya sehingga mereka tidak saling kenal sekalipun berada di tempat yang berdampingan. Kapitalis mengadu para pekerja sejauh mana mereka mampu berproduksi. Situasi yang demikian -permusuhan di kalangan pekerja- akan menguntungkan pihak kapitalis karena para pekerja akan kembali ke para majikannya dan otomatis keuntungan kembali kepada kaum kapitalis.
Yang terakhir adalah keterasingan pekerja akan potensi kemanusiaan mereka sendiri, artinya pekerja dikontrol secara ketat hubungannya dengan manusia lain dan alam sehingga potensi diri mereka terpuruk. Mereka hanya dicetak untuk menjadi ,mesin produksi yang hanya menguntungkan kapitalis tanpa memikirkan bagaimana jiwa dan kualitas pekerja sebagai seorang manusia.
Adanya alienasi pada kapitalisme membuat perbedaan yang sangat kentara antara majikan dan buruh. Keterasingan ekonomi ini berkaitan dengan bentuk-bentuk dengan keterasingan lainnya. Keterasingan politik berarti bahwa kaum kaya  harus tuduk kepada kekuasaaan negara yang sebenarnya telah terorganisir sedemikian rupa. Jadi yang sebenarnya terjadi adalah terdapat pula kepentingan-kepentingan ekonomi dalam tubuh pemerintah pada kapitalisme[3].
Keterasingan akan dapat dihilangkan apabila sebab-sebabnya dilenyapkan yaitu menghapus kepemikikan pribadi. Keterasingan yang telah terjadi merupakan hal yang muncul akibat dari kapitalisme yang memungkinkan untuk dihilangkan walaupun dalam jangka waktu tertentu dalam sejarah.

[1]Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2219707-pengertian-alienasi/ diakses pada 14 Maret 2013 pukul 01.55  WIB
[2] George Ritzer, Douglas J. Gooodman. TEORI SOSIOLOGI. 2009. Bantul: Kreasi Wacana (Hal. 54)
[3] L. Layendecker. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. 1983. Jakarta: PT. Gramedia (Hal. 250)

Fakta Sosial Emile Durkheim



Pengertian Fakta Sosial
Kata fakta sosial pertama kali diperkenalkan pada abad ke-19 oleh sosiolog Perancis yang bernama Emile Durkheim.  Durkheim menyatakan bahwa sosiologi harus menjadi 'ilmu dari fakta sosial' yaitu membicarakan sesuatu yang umum yang mencakup keseluruhan masyarakat dan berdiri sendiri serta terpisah dari manivestasi  individu. Fakta sosial ini diartikan sebagai gejala sosial yang abstrak, misalnya hukum, struktur sosial, adat kebiasan,nilai, norma, bahasa, agama, dan tatanan kehidupan lainnya yang memiliki kekuasaan tertentu untuk memaksa bahwa kekuasaan itu terwujud dalam kehidupan masyarakat di luar kemampuan individu sehingga individu menjadi tidak tampak.  Selain itu, menurut Emile Durkheim metode sosiologis yang dipraktikkan harus bersandar sepenuhnya pada prinsip dasar bahwa fakta sosial harus dipelajari sebagai materi, yakni sebagai realitas eksternal dari seorang individu. Jika tidak ada realitas di luar kesadaran seorang individu, sosiologi sepenuhnya kekurangan materi.  
Dalam buku Rules of Sociological Method, Durkheim menulis: "Fakta sosial adalah setiap cara bertindak, baik tetap maupun tidak, yang bisa menjadi pengaruh atau hambatan eksternal bagi seorang individu." Dan dapat diartikan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan sifatnya memaksa serta terbentuk karena adanya pola di dalam masyarakat. Artinya, sejak manusia dilahirkan secara tidak langsung ia  diharuskan untuk bertindak sesuai dengan lingkungan sosial dimana ia dididik dan sangat sukar baginya untuk melepaskan diri dari aturan tersebut. Sehingga ketika seseorang berbuat lain dari apa yang diharapkan oleh masyarakat maka ia akan mendapatkan tindakan koreksi, ejekan, celaan, bahkan mendapat sebuah hukuman. Selain itu, fakta sosial memiliki 3 sifat yaitu: eksternal, umum (general), dan memaksa (coercion).

Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1.      Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2.      Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.

Ritzer, George, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2009.
Paul Doyle Johnson, Teory Sosiologi Klasik Dan Moderen, Pt Gramedia, Jakarta, 1986.
Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, Ghalia Indonesia, Jakarta Selatan, 2002.
Dadang Khamad, Soiologi Agama, Pt Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.
Betty R.Scarf, Sosiologi Agama,  Terj. Machun Husein, Prenada Media, Jakarta Timur, 2004.

Sosiologi Pendidikan, Sejarah dan Perkembangannya

Sosiologi Pendidikan - Sejarah dan Perkembangannya
Sosiologi umum (Sosiologi mikro) abad  ke 18
·         Masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat à Cultural Lag (Sumber masalah)
·         Hubungan dari proses interaksi  individu terhadap keluarga dan hubungan individu terhadap lingkungan sosial
·         Interaksi sosial merupakan proses tingkah laku manusia
·         Perkembangan masyarakat yang cepat dan  merosotnya peran pendidik

Sosiologi Pendidikan berawal dari ilmu sosiologi umum atau sosiologi micro (micro sociology) yang muncul pada abad ke-18. Ilmu sosiologi mulai melepaskan diri dari ilmu filsafat dan berdiri sendiri sejak abad ke -19. Istilah sosiologi pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) dalam bukunya Cour de phillosophie positive. Sosiologi berasal dari kata “socious dan “logos”. Socious berasal dari bahasa latin yang artinya “teman”, sedangkan logos berasal dari bahasa yunani yang artinya “kata, perkataan atau pembicaraan”. Jadi sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan. Ditinjau dari segi etimologi istilah sosiologi pendidikan terdiri dari dua kata yaitu sosiologi dan pendidikan. Ditinjau dari segi perspektif sebab lahirnya sosilogi pendidikan adalah dikarenakan adanya perkembangan masyarakat yang cepat dan berakibat pada merosotnya peran pendidik, dan perubahan interaksi antarmanusia. Dikarenakan manusia tumbuh dan berkembang bukan di sekolah melainkan di masyarakat. 

B.Sosiologi Pendidikan Sebagai Ilmu Pemgetahuan
Sosiologi pendidikan merupakan cabang ilmu sosiologi, atau yang dikatagorikan sebagai sosiologi mikro (mikro sociologi). Sebagai ilmu sosial yang mempelajari hubungan pendidikan dan masyarakat, sosiologi pendidikan pun sebagai ilmu pengetahuan lainya, dipandang memiliki kontribusi signifikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian sosiologi pendidikan memperkaya ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan sosial (sosial sociencies). Peran sosiologi pendidikan, terutama lebih tampak pada kegiatan penelitian sosiologi pendidikan, terutama lebih tampak pada kegiatan penelitian sosiologi pendidikan dalam berbagai bidang penelitiannya.

A.Sumber Ilmu Pengetahuan
Untuk mencapai suatu kebenaran ilmu pengetahuan, yang lazim disebut kebenaran keilmuan atau kebenaran ilmiah, manusia berusaha memperolejh pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu yang diperoleh melaluipendekatan atau cara pandang (approach), metode (method), dan sistim tertentu. Jadi, pengetahuan tentang yang benar tidak besa dicapai secara langsung dan khusus.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas dari suatu objek materi yang dicapai menurut objek forma (cara pandang) tertentu dengan metode yang sesuai dan ditujnang oleh suatu system yang relevan. Pengetahuan yang demikian tahan uji, baik dari verifikasi empiris maupun rasional, Karena cara pandang, , metode, dan sistim yang bdigunakan bersifat empiris  dan rasional secara silih berganti.
Beberapa sumber pengetahuan yang dianggap mampu memberikan informasi untuk pembentukan ilmu pengetahuan :
1.Intuisi
Merupakan suatu kemampuan atau daya naluriyah atau firasat yang dapat menghasilkan imajinasi cemerlang tentang suatu kejadian yang akan terjadi secara cepat. Seorang mempunyai daya intuitif yang kuat secara mengesankan dapat meramalkan dan memprediksi sesuatu yang terjadi secara tepat. Akan tetapin, daya atau kemampuan memprediksi itu sulit menjadi atau dijadikan sumber penngetahuan / kebenaran karena terhadap suatu putusan intuitif tidak dapat dilakukan pada saat di kemukakan.
2.Kitab – kitab suci
kitab suci juga diberlakukan sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran bagi pengikutnya. Dalam kebenaran kitab – kitab suci, tiap manusia mempunyai suatu agama yang diyakini. Kitab suci diharapkan dapat membimbing dari jalan kesesatan dan kenistaan. Keb3enaran pengbetahuan tidak terletak dari hasil penngujian dan pemeriksaan ilmiah terhadapnya, melainkan karena diterima berdasarkan kepercayaan sebagai wahyu ilahi.
3.Tradisi
Merupan sumber yang paling menonjol dan berpengaruh. Hal ini disebabkan karena angggapan, bahwa tradisi mengandung pengetahuan yang arif dan bijaksan. Karena itu, biasanya anggota masyarakat terus diminta untk memelihara dan meneruskan tradisi.
4.Common Sense
Merupakan pengetahuan yang dimiliki secara umum oleh masyarakat, namun dasar dan sumbernya tidak diketahui. Pengetahuan tidak dapt dibuktikan kebenaranya, namun terus diterima sebagai sumber kebenaran yang tidak perlu dibuktikan. Common Sense sangat mempengaruhi perilaku individual dan sosial seseorang.
5.Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Metode ilmiah dijadikan cara umum yang digunakan untuk mencapai jawaban tentang fenomena yang ada di ala mini. Ternyata dengan cara ini, ilmu dengan metodenya mampu menguraikan dan menjelaskan lebih banyak rahasia fenomena alam yang terpendam.